Bittersweet First Love

By Annisa Husna - 21.45

Setelah sekiaan lama nggak ngeblog akhirnyaa owner dari blog ini muncul lagi yeey :D
setelah disibukin sama segunung tugas kuliah, organisasi, dll *kebanyakan alasan ngeblog kan padahal nggak butuh waktu lama* haha
emang sih belakangan ini setahun terakhir mood ngeblog ga ada kalaupun ada cuma posting cerpen / fanfic aja . sebenernya sekarang juga sih pengen aja share cerpen yang dibuat tahun 2012 :3 *wink*
selagi nganggur KP iseng-iseng buka arsip lama , nemu cerita ini diedit dikit terus jadi deeh !!
oke ini cerpen based on true story, true story nya siapa? yaah ownernya lah kalau punya orang lain ga orisinil dong melanggar hak cipta. tapi karena ini kisah lama jadi owner juga lupa-lupa inget cerita aslinya jadi ditambah sedikit bumbu-bumbu imajinasi cerita ini tetep jadi cerita fiksi. okee selamat membacaa minna-san ^^

18 Juni 2009  
Hai nama aku Fitriana Ramadhan biasa dipanggil nana. Umurku sekarang 15 tahun dan duduk di kelas 2 SMA. Ngomong-ngomong tentang cinta pertama kata orang-orang itu cinta pertama manis, ada yang bilang cuma cinta monyet, ada juga yang bilang banyak pahitnya hmm kalau cinta pertama aku sendiri itu manis-manis pahi. Yuk intip kisahku tentang cinta pertamaku yang manis, pahit, asam, nano-nano lah rasanya J
2 Juli 2005
Aku memasuki kelas baru dengan takut-takut, dengan terus menggandeng lengan ibuku mataku menyusuri tiap sudut kelas baru itu. Aku mengamati wajah teman baruku satu persatu, sambil berharap dan mengira-ngira siapa anak yang nantinya akan kujadikan teman bermain selama 3 tahun kedepan ini. Beberapa saat kemudian masuklah pria paruh baya yang berwajah ramah dan selalu tersenyum . “Asyik pasti beliau ini wali kelasku!” batinku pada saat itu. Selesai mengucapkan salam Pak Guru itu memperkenalkan diri terlebih dahulu, nama beliau pak Bekti, seperti raut wajahnya beliau adalah orang yang ramah dan mengajar Pendidikan Agama Islam. Setelah itu pak Bekti mulai mengabsen murid-murid barunya. Sekitar 10 anak yang sudah selesai diabsen, tiba-tiba..
            “Assalamualaikum , maaf pak saya terlambat!” kata seorang anak yang baru saja muncul di depan pintu kelas. Pak guru tersenyum dan mempersilahkan anak itu untuk segera duduk di bangku yang masih kosong.
            Karena anak yang baru masuk itu satu-satunya yang sudah berpakaian seragam putih-biru di antara teman-temannya yang masih mengenakan seragam merah-putih, dalam sekejap pandangan anak seluruh kelas langsung mengarah kepadanya. Tak terkecuali aku sendiri, mataku terus mengikuti anak tersebut hingga ia duduk tepat di bangku belakangnya. Ketika mata kami hampir saling berpandangan buru-buru aku memalingkan mata dan kembali memperhatikan apa yang disampaikan guru di depan.
            Sesekali aku melihat ke arah belakang bertanya-tanya siapa nama anak itu? Dari sekolah mana asalnya? Dan masih banyak pertanyaan lainnya. Tipikal anak pintar dan rajin, pikirku saat itu melihat penampilannya. Dengan seragam smp yang masih baru dan rapi,  tas ransel yang masih berada di punggung, plus memakai kacamata. Tersenyum kecil aku akhirnya kembali menghadap ke papan tulis. Mungkin ketertarikanku pada anak itu sudah dimulai sejak pertama kali aku melihatnya di hari pertama sekolah.
......................................................................................................................................................
            Setelah melewati MOS 3 hari dan perkemahan sabtu-minggu akhirnya pembagian kelas pun sudah ditetapkan. Aku senang sekali karena masih sekelas dengan teman-teman baru yang kukenal pada saat orientasi itu , walaupun ada beberapa yang pindah kelas yah tapi itu bukan masalah besar. Dan tentu saja aku juga sekelas dengan Damar, pria yang waktu itu sempat menarik perhatianku di awal.
            Dalam hitungan minggu saja aku sudah mulai bisa akrab dengan teman-teman baru, tidak terkecuali dengan Damar juga. Hingga pada suatu hari pada saat jam pelajaran kosong anak-anak cowok iseng bermain dengan pesawat kertas.
            “Hei hei ayo main! Nanti siapa yang dapet pesawatnya berarti dia jodoh ama yang ngelempar pesawat itu. Gimana?” Ajak Adi salah satu teman sekelasku.
            Karena tidak tertarik aku dan anak-anak cewek lainnya tidak terlalu memperhatikan karena sedang asyik berbicara sendiri.
            “Mulai ya sekarang aku pertama!” Adi mulai melempar pesawat kertas dan yang ternyata pesawatnya jatuh di anak cowok lain.
            “Hahahaha kamu jodoh ma Reza berarti di!” Anak-anak cowok kompak tertawa tebahak-bahak melihat wajah Adi yang jengkel.
            “Oke-oke sekarang giliranku ya..” Firman mulai melempar pesawat kertas dan sekarang anak-anak cewek yang tadinya sibuk sendiri mulai memperhatikan permainan iseng itu.
            “Yah nggak kena siapa-siapa man, berarti jodohmu nggak disini.” Hibur Rizki yang duduk di sebelah Firman karena melihat ekspresi muka temannya yang terlihat sedih itu.
            Kemudian permainan itu terus berlanjut , jika ada cowok melempar jatuh di anak cewek seisi kelas langsung ricuh sambil bertepuk tangan. Jika ada yang jatuh di teman sesama jenis mereka langsung beradegan berpelukan atau bergandengan tangan seolah-olah telah menemukan jodoh sejatinya. Kemudian yang lebih menyedihkan jika pesawat itu jatuh tidak di tempat yang diinginkan seperti tempat sampah , di atas tv , terbang keluar kelas dan jatuh di tanah, tersangkut di kipas angin, dll seluruh kelas langsung tertawa terbahak-bahak. Dan ketika sedang asyik tertawa tiba-tiba aku menerima pesawat yang terjatuh tepat di pangkuannya.
            “Siapa yang nerbangin ini?” tanyaku
            “Damar yang nerbangin! Wah jodoh nih berarti jatuhnya pas banget hahaha.” Celetuk Fendi dan diikuti suara tertawa anak-anak sekelas.
            Aku menoleh ke arah Damar dan melihat pria itu sedang tersenyum menanggapi candaan teman-temannya.
            “Ini hanya permainan..” Kataku dalam hati.
            Ternyata permainan itu tidak hanya berhenti di hari itu saja. Seisi kelas masih saja menjodoh-jodohkan Damar denganku, dan hal itu semakin menjadi-jadi karena banyak sekali kebetulan-kebetulan yang menghubungkanku dengannya. Awalny aku dan Damar merasa tidak nyaman dengan perlakuan teman-teman, tapi lambat laun akhirnya kami berdua sudah mulai terbiasa dan tidak ada lagi komplain terhadap candaan itu.
....................................................
            Dan ternyata lambat laun aku mulai menyadari perasaannku terhadap Damar. Semakin aku ingin mengenal Damar lebih jauh rasa tertarik itu semakin bertambah. Meskipun dalam pikiranku terus-menerus menolak kenyataan bahwa aku terus memikirkan Damar , namun apa daya sepertinya apa yang ada di pikiran dan di hati berbeda aku tidak bisa menolak perasaan itu. Karena memang aku adalah gadis yang cenderung tertutup aku jadi tidak bisa menceritakan tentang perasaannya ini kepada siapa-siapa. Bahkan kepada sahabat-sahabat dekatku. Mau tak mau aku masih berpura-pura acuh terhadap Damar.
            Tidak disangka-sangka akhirnya muncul celah dimana aku bisa membagi perasaan itu terhadap teman-teman tanpa harus bercerita secara langsung. Ketika aku dan sahabat-sahabatku sedang berkumpul salah satu dari sahabatku mencetuskan ide permainan yang sedikit “gila”. Karin, salah satu sahabatku mengajak kita untuk bermain 30 Hari Mencari Cinta , yakni permainan dimana kita harus bisa mendapatkan pasangan dalam jangka waktu 30 hari. Tertarik dengan ide “gila” itu aku langsung mengiyakan dan menyatakan bahwa targetku adalah Damar. Sahabat-sahabatku jelas kaget mendengar perkataanku, mereka pikir selama ini aku tidak memiliki perasaan khusus terhadap Damar. Tetapi mereka salah, aku hanya tidak tahu bagaimana cara memberitahu Sahabat-sahabatku tentang perasaannya. Akhirnya dari 7 gadis hanya 4 orang yang mengikuti permainan itu, termasuk aku sendiri. Dan dimulailah usahaku untuk merebut hati Damar dalam waktu 30 hari.
......................................................................................................................................................
            Ternyata bukan perkara mudah untuk mendekati Damar. Karena candaan teman-teman sekelas yang masih berlanjut itu aku jadi merasa tidak enak tiap kali ingin mengajak Damar berbicara. Bahkan sekedar untuk mengajak damar bergabung dalam tugas kelompok saja aku tidak bisa. Melihat sikapku yang masih malu-malu, sahabatku ikut menyusun rencana untuk membantu N. Mulai dari mengatur agar kami bisa duduk berdekatan hingga menjadi satu kelompok ketika ada tugas kelompok. Menyadari bahwa aku sendiri juga harus bergerak , aku mulai mencoba mengajak bicara Damar. Tetapi ternyata reaksi dari Damar tidak seperti yang aku harapkan, Damar cenderung bersikap dingin dan menghindar ketika aku ingin mengajak dia berbicara. Namun aku tidak menyerah, semakin Damar menghindarinya semakin gencar pula aku untuk mendekatinya. Aku bahkan mencari info alamat dan nomor telepon rumah Damar sebagai informasi yang mungkin suatu saat akan berharga.
            Mungkin usahaku terkesan terlalu agresif, tapi aku bersungguh-sungguh atas perasaanku terhadap Damar. Ketika waktu sudah berjalan 2 minggu dan Damar belum menunjukkan tanda-tanda positif akhirmya Sari , sahabatku,  mencoba mengajakku berbicara.
            “Na, udah 2 minggu lo kamu serius masih mau lanjut ndeketin Damar? Nggak pengen ganti target? Nanti kamu kalah lo Na.” Kata Sari
            “Enggak Sar, aku ndeketin Damar bukan buat 30 HMC aja. Aku serius sayang sama dia makanya aku usaha sampai kayak gini. Kalaupun nanti udah 30 hari dan aku belum bisa ngedapetin hati Damar ya udah berarti aku kalah aku siap nerima hukumannya. Tapi aku bakalan lanjutin usahaku Sar.” Jawabku
            “Kamu bener-bener suka ama dia ya Na?” tanya Sari lagi.
            “Iya Sar. Baru pertama kali aku ngerasa kayak gini.” kataku
            “Yaudah semangat ya Na, aku sama yang lain bakal tetep bantuin kamu kok.” Sari menepuk bahuku pelan.
            “Makasih ya Sar.” Balasku sambil tersenyum.
            Namun di saat aku sedang berusaha untuk menarik perhatian Damar, mulai banyak pria lain yang mencoba mendekatiku. Salah satunya ada senior yang tidak segan-segan menunjukkan perasaannya terhadapku. Secara terang-terangan dia mencoba mendekatiku. Apalagi kelasku dan senior itu berseberangan, hal itu membuatku semakin malas keluar kelas di waktu istirahat karena harus bertemu dengan senior itu. Tapi layaknya pria yang sedang melakukan pendekatan, senior itu juga nekat masuk ke kelas hanya untuk mengajak berbicara setiap hari. Hal itu membuatku merasa risih tapi bagaimanapun juga yang kuhadapi adalah seorang senior yang harus dihormati. Karena itu aku tidak bisa menolak secara tegas akan sikap senior itu. Dan tanpa aku sadari Damar mulai mengamatiku dan senior itu ketika kami sedang bersama.
            Entah karena merasa perhatianku tidak lagi untuk Damar dan candaan teman-teman sekelasnya mulai berkurang untuk kami, Damar mulai menunjukkan sikap positif. Dia tidak lagi bersikap dingin dan acuh ketika aku mengajaknya berbicara. Dia bahkan lebih sering memulai pembicaraan dibandingkan denganku. Merasa ada perubahan pada sikap Damar, aku akhirnya memutuskan akan bersikap tegas kepada senior itu. Dan kemudian pada suatu hari senior itu menyatakan perasaannya di hadapan teman-teman sekelas, termasuk Damar.
            Perasaanku campur aduk antara kaget dan bingung. Baru pertama kali ini ada orang yang menyatakan perasaan padanya di tempat umum seperti ini. Teman-teman sekelasku langsung heboh menyuruhku menerima pernyataan senior itu. Tetapi ketika aku menoleh ke arah Damar, dan melihat Damar tidak bereaksi apa-apa. Tidak tersenyum atau terkesan cemburu , terlalu datar sehingga aku tidak bisa menebak apa yang sedang dia pikirkan.
            “Maaf mas, ada orang lain yang aku suka.” Kataku pada akhirnya.
            “Haha sudah aku kira sih , aku udah siap ditolak kok aku cuma pengen nyatain perasaan aja.” Balas senior itu.
            “Eh, jadi mas nggak marah?”
            “Ngapain marah? Itu kan hakmu buat nerima atau nolak. Aku nggak papa kok.” Kata senior tadi sambil tersenyum.
            “Maaf sekali lagi ya mas , dan makasih udah berani nyatain perasaan mas ke aku.”
            “Santai aja na, kita tetep temenan kan tapi?”
            “Iya mas.” Jawabku mantap.
            “Oh iya Na, aku tahu kok siapa orang yang kamu suka. Semangat ya jangan nyerah pasti dia luluh kok sama perjuangan kamu.” Bisik senior itu ke telingaku dan langsung membuat mukaku memerah.
            Setelah senior itu pergi sahabat-sahabatku langsung menuju ke arahnya dan menginterogasinya dengan bebagai macam pertanyaan. Aku hanya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sambil tersenyum dan sesekali melihat ke arah Damar. Tapi tiba-tiba Aku melihat Damar balas menatapdan tersenyum , entah itu hanya perasaanku saja atau memang kenyataan. Yang jelas aku semakin yakin akan perasaannku terhadap damar. Namun bagaimana dengan perasaan Damar sendiri?
......................................................................................................................................................
            Semester pertama sudah berlalu, dan aku masih belum bisa mendapatkan kepastian dari Damar. Jujur aku sedikit lelah dengan sikap Damar yang kadang memberi harapan , namun kadang juga bersikap sangat dingin. Aku yakin sebenarnya Damar mengetahui perasaannku walaupun aku belum sempat menyatakannya. Dan hal itu semakin membuatku ragu, kalau Damar sudah mengetahui perasaanku kenapa dia tidak segera memberi kepastian? Kenapa dia justru membuatku menunggu dengan harapan yang tak pasti? Padahal apapun perasaan Damar akan kuterima dengan ikhlas. Jauh lebih baik jika Damar menolak daripada terus menarik-ulur seperti ini.
            Tapi setiap kali aku ingin mundur dan berhenti aku kembali teringat akan perjuangan selama ini. Menunggu Damar selesai kegiatan ekskul sewaktu pulang sekolah, mencari telepon umum untuk menelpon Damar, mengirim sms walau dia tahu Damar jarang membalas smsnya , mengatur tempat duduk agar bisa berdekatan, dll. Namun sebenarnya hal yang membuatku ragu untuk mundur adalah perasaannya. Aku menyukai Damar yang sedang tertawa bersama teman-temannya , tingkah laku konyol yang biasanya Damar lakukan, saat-saat Damar mencoba mengusiliku, suara Damar yang sedang memanggil, aku juga mengagumi sosok Damar yang begitu cerdas saat menerangkan pelajaran biologi, kemudian perhatian-perhatian kecil yang pernah diberikan Damar. Aku menyukai semua yang ada pada Damar , dan bagaimana bisa aku memutuskan untuk mundur ketika perasaan itu semakin kuat seiring dengan berjalannya waktu?
            Teringat  tentang omongan Damar beberapa bulan yang lalu ketika mereka berdua sedang bertugas piket di hari yang  sama. Tepat sebelum itu sewaktu jam istirahat, ada pria dari kelas sebelah yang menyatakan cinta padaku dan seperti biasanya aku menolak pria itu.
            “Na, kamu tadi nolak Raka ya?” kata Damar tiba-tiba.
            “Eh..ii..iya. Kamu kok tahu? Jawabku kaget dengan pertanyaan Damar.
            “Hmm denger dari anak-anak..kata temen-temennya Raka mereka nggak nyangka kalau kamu bakal nolak dia. Soalnya kalian udah deket gitu.” Kata Damar lagi.
            “Oo..enggak kok mar kita berdua cuma temen biasa. Mungkin temen-temen Raka ngira ada yang lebih diantara kita padahal enggak.” Kataku. Aku juga tidak ingin Damar menganggap hubungan pertemanan dengan Raka itu istimewa.
            “Haha iya-iya aku cuma tanya aja kok Na. Tapi dari banyak cowok yang udah minta  kamu jadi pacarnya nggak ada satu yang kamu terima. Kenapa Na?”
            Mendengar pertanyaan itu aku refleks menjawab
            “Soalnya hatiku udah tak gembok”
            Dan jawaban yang tidak terduga meluncur dari mulut Damar.
            “Oh iya kunci gemboknya kan aku ya, hahaha.” Kata Damar sambil tersenyum jahil dan membuatku terdiam. Apa aku tidak salah dengar?

            Tapi melihat situasi yang ada hingga sekarang sepertinya omongan Damar waktu itu hanyalah sekedar candaan saja dan aku merasa bodoh telah menganggap serius omongan itu.
 ......................................................................................................................................................

            Memasuki libur semester intensitas dengan Damar semakin berkurang. Jika tidak ada acara sekolah maka kami tidak bisa bertemu. Tetapi aku ingin bertemu dengan Damar , aku merindukan sosok itu. Hingga pada suatu hari Tari, sahabatku, mengajak anak laki-laki dan perempuan untuk menonton film di bioskop bersama. Aku sangat antusias karena aku tahu Damar juga ikut pada acara kali ini. Dan pada saat di bioskop teman-teman ternyata sudah mengatur agar aku bisa duduk tepat di sebelah Damar. Awalnya aku menolak tapi teman-temanku dan dia meyakinkan bahwa kesempatan tidak akan datang dua kali dan ini merupakan momen yang tepat bagiku.
            Akhirnya aku pun menuruti rencana mereka, walaupun hanya dengan duduk bersebelahan aku sudah cukup puas dan senang. Tapi entah hari itu mungkin menjadi hari keberuntunganku. Sejak film dimulai Damar selalu mengajak berbicara bahkan beberapa kali aku mendapatkan Damar sedang menatap diam-diam. Dan puncaknya di tengah film Damar mengenggam tanganku perlahan. Kaget akan hal itu aku langsung menoleh kearah Damar, namun yang bersangkutan seolah menyuruhku untuk tetap tenang dan untuk tidak bertanya apa-apa. Damar hanya terdiam menatap layar namun tangannya terus mengenggam tanganku erat. Aku mengerti maksudnya dan juga kembali menatap layar tanpa berkata apa-apa. Kami berdua saling terdiam hingga film berakhir namun kehangatan yang ada di ujung tangan seolah sudah menggantikan kata-kata yang tak sempat terucap.
            Sepulangnya dari bioskop aku masih tidak percaya bahwa kejadian yang tadi itu nyata. Aku  merasa seperti sedang bermimpi, tapi sisa kehangatan dari genggaman damar itu masih teringat jelas. Apakah ini berarti aku masih boleh terus berharap?
......................................................................................................................................................
            Setelah hari itu sikap Damar pun mulai berubah. Pada waktu liburan dia sering membalas sms, bahkan Damar pernah sekali menelpon hanya untuk mengatakan bahwa dia tidak sabar ingin bertemu . Aku merasa bahwa akhirnya penantian ini tidak sia-sia. Namun aku tetap menyadari kalau Damar belum pernah berkata bahwa dia juga memiliki perasaan yang sama, hal ini membuatku takut untuk berharap yang lebih tinggi. Bagiku, sikap Damar yang seperti ini sudah lebih dari cukup.
            Awal semester dua pun sudah dimulai. Para siswa dan guru sedang sibuk dengan persiapan untuk menghadapi lomba kebersihan sekolah tingkat nasional yang sedang diikuti oleh sekolah mereka. Tidak ada yang mengira sebelumnya kalau lomba ini yang akan menjadi titik balik dari serangkaian kisah ini.
            Seperti biasa di hari jumat semua kelas mengadakan kerja bakti membersihkan kelas dan lingkungannya tiba-tiba Pak Bekti masuk dan memberikan pengumuman.
            “Anak-anak mohon perhatiannya sebentar.” Kata pak Bekti mereka.
            Murid-murid yang tadi sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing langsung masuk ke kelas untuk mendengarkan pengumuman itu.
            “Kalian tahu kan sekolah kita sedang melakukan persiapan menghadapi lomba tingkat nasional? Dan dari pusat ada aturan bahwa sekolah yang baik hanya memiliki 35 siswa di setiap kelas, sementara sekarang sekolah kita memiliki hampir 40 murid di setiap kelas. Maka dari itu sekolah akan melakukan pemerataan dengan menyiapkan satu kelas baru. Untuk itu  dari tiap kelas diharapkan ada siswa yang dengan ikhlas pindah ke kelas baru tersebut.” Jelas pak Bekti.
            Seisi kelas langsung ribut mendengar pengumuman itu, kebanyakan dari mereka menolak kebijakan itu karena tidak ada yang ingin pindah ke kelas baru. Bagaimanapun mereka sudah bersama selama 1 semester, pasti kebanyakan dari mereka sudah menganggap anggota kelas itu seperti keluarga sendiri.
            “Maaf anak-anak, tapi ini sudah jadi perintah dari kepala sekolah.Begini saja kalau tidak ada yang bersedia pindah kelas lebih baik kita undi saja. Bagaimana?” saran pak Bekti.
            “Iyaa paak.” Jawab para murid serempak walaupun dengan berat hati.
            Selama proses undian sedang berlangsung aku terus berdoa semoga bukan orang-orang yang dia sayangi yang harus pindah kelas. Bukan dia, bukan sahabat-sahabatnya dan juga bukan Damar. Namun sepertinya doaku sedikit tidak terkabul ketika dia mengetahui hasil undian terakhir.
            “Aku nggak mau pisah sama kalian.” Kata Putri , sahabatku yang mendapatkan hasil undian kalau dia harus pindah kelas.
            “Aku juga nggak mau put , kamu disini aja ya minta tuker sama anak lain.” Balas Karin sambil menahan tangis.
            “Memangnya ada yang mau tuker? Nanti kalau aku di kelas baru jangan lupain aku lo ya. Waktu istirahat aku bakalan terus main ke sini buat ketemu kalian.” Kata Putri lagi dan kali ini dia mulai menangis.
            Melihat Putri menangis, 6 sahabat-sahabatnya juga langsung ikut menangis termasuk aku sendiri. Wajar saja karena sejak hari pertama masa orientasi kami sudah bersama-sama. Pada saat itulah tiba-tiba Damar membuka mulutnya.
            “Pak Bekti, saya bersedia pindah ke kelas baru menggantikan Putri.” Kata Damar
            “Kamu serius Damar?” tanya pak Bekti
            “Iya pak , saya serius.” Balas Damar
            “Mar kamu bener mau tuker sama aku? Makasih banyak Mar.” Kata Putri
            “Iya Put , tenang aja kamu nggak bakalan pisah sama mereka kok.” Jawab Damar sambil melihat ke arah para gadis yang tadi menangis.
            Mendengar pernyataan Damar , kita berenam langsung gembira. Kita tidak perlu pisah kelas dengan Putri, sahabat yang mereka sayang. Namun saat ini perasaanku sedang campur aduk, aku senang Putri tidak jadi pindah kelas tapi di sisi lain juga sangat sedih kenapa harus Damar yang pindah. Apa Damar melakukan itu karena dia tidak tega melihatku menangis? Atau karena ketiga murid lain yang pindah adalah orang yang dekat dengan Damar? Atau bahkan mungkin dia pindah untuk menghindariku? Begitu banyak pertanyaan di pikiranku yang membuat kembali meragukan Damar.
            “Maaf ya Na.” Kata Putri melihat ekspresiku yang sedikit aneh.
            “Maaf kenapa Put?” tanyaku bingung.
            “Gara-gara tuker sama aku yang pindah kelas akhirnya malah Damar.” Jawab Putri merasa bersalah.
            “Kamu ngomong apa sih put , aku lebih seneng kalau kamu nggak jadi pindah walaupun dia yang harus gantiin kamu. Lagipula mungkin aku juga bakal bisa lupain Damar kalau nggak sekelas lagi.” Jelasku
            Mendengar penjelasan itu Putri langsung terenyum dan memelukku. Akhirnya aku meyakinkan diriku kalau kejadian ini mungkin menandakan kalau aku harus melepaskan Damar dan melupakan perasaan ini.
......................................................................................................................................................
            Sepulang sekolah aku tidak langsung pulang tetapi pergi ke perpustakaan langganan di dekat rumah terlebih dahulu untuk menenangkan diri setelah apa yang terjadi di sekolah. Ketika sedang asyik membaca buku tiba-tiba handphoneku bergetar dan aku membuka pesan yang masuk.

From:Damar

Telpon ke rumahku skrg pls, ada yang mau aku omongin.

            Begitu membaca pesan itu aku langsung mencari telepon umum terdekat , dan beruntung aku menemukannya di sebelah perpustakaan. Aku langsung menekan nomor yang ia hafal dia luar kepalanya, dan begitu mendengar nada tersambung dadaku berdegup dengan kencang. Apa yang Damar ingin bicarakan?
            “Halo,assalamualaikum.” Terdengar suara di seberang sana.
            “Waalaikumsalam , Damar?” balasku.
            “Iyaa..ini Nana?”
            “iya Mar , ada apa? Katanya ada yang mau kamu omongin?” kataku tak sabar.
            “Oo..itu..hmm habis ini kita udah nggak sekelas lagi kan?”
            “iya kamu kan tadi minta tuker ama Putri. Terus kenapa?”
            “Kamu seneng kan Putri nggak jadi pindah kelas?” tanya Damar
            “Eh..kamu ngomong apa sih? Iya jelas aku seneng Mar.” Jawabku masih tak mengerti maksud Damar.
            “Bagus deh kalau gitu..aku sengaja minta tuker kelas buat kamu Na.”
            DEG!! Aku langsung salah tingkah mendengar pernyataan Damar.
            “Aku nggak tega lihat kamu nangis kayak tadi jadi aku langsung ngajuin diri buat tuker ama Putri. Tapi sekarang berarti kita nggak sekelas lagi deh, kamu sedih nggak na?”Lanjut Damar
            “Kamu ngomong apa sih Mar.”
            “Na,aku serius..kamu mau jadi pacarku?” tembak Damar langsung.
            “Apa??” Tanyaku tidak percaya. Ini bukan mimpi di siang bolong kan?
            “Gimana na mau?” tanya Damar lagi.
            “Kenapa baru sekarang sih Mar? Kenapa harus waktu kita udah pisah kelas gini.” Balasku
            “Justru karena kita udah nggak sekelas aku sadar Na. Aku nggak bakal bisa bercanda sama kamu lagi tiap hari, satu kelompok lagi, njahilin kamu waktu piket. Aku baru sadar Na aku sayang sama kamu.” Kata Damar.
            “Aku juga Mar, dari dulu malah.” Jawabku.
            “Berarti kamu nerima?”
            “iya.”
            “Yes! Makasih ya Na. Kamu lagi nelpon aku darimana? Kalau dari wartel udah dulu ya entar mahal lagi. Sampai ketemu besok yaa aku bakal main ke kelas tiap istirahat kok.”
            “Iya Mar, makasih juga yaa. Assalamualaikum”
            “Waalaikumsalam”
            Setelah memastikan sambungan telpon sudah benar-benar terputus tiba-tiba air mataku menetes lagi , tidak peduli kalau sedangberada di tempat umum. Aku tidak bisa membendung perasaannku kali ini. Ternyata Damar memiliki perasaan yang sama dan akhir penantiannya berakhir dengan bahagia.
......................................................................................................................................................
            Bagaimana? Cukup panjang bukan? Iya namun layaknya cinta monyet bisa ditebak selanjutnya hubunganku dan Damar hanya berjalan lancar selama 5 bulan. Walaupun pada akhirnya hubungan kami harus berakhir karena banyak faktor seperti tidak sekelas lagi sewaktu duduk di kelas 2, Damar yang sibuk mengikuti olimpiade Biologi dan guru pembimbingnya menyarankan agar mereka berpisah, namun hingga duduk di kelas 3 SMP aku tetap menyukai Damar. Perasaanku tidak berubah hingga muncul orang lain yang bisa menggantikan posisi Damar. Meskipun hanya 5 bulan Aku sangat berterima kasih terhadap Damar , Damar sudah memberikan warna sebagai cinta pertama yang selalu terkenang.
TAMAT

  • Share:

You Might Also Like

1 komentar

  1. Ya ampun Husni, sweet banget sih kamu sama diaaaa T^T
    Kalau aku mah gagal total

    BalasHapus